Membangun Pramuka

SALAM PRAMUKA



ADA 14 Agustus 1961, Pejabat Presiden RI PM Ir. Juanda mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 238 tentang penetapan Pramuka (Praja Muda Karana) sebagai satu-satunya wadah kepanduan nasional dan mengangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai ketua Majelis Pimpinan Gerakan Pramuka pertama. Tanggal tersebut menandai ditetapkannya Hari Pramuka di Indonesia yang terus diperingati hingga hari ini.

 
Meskipun penetapan Pramuka sebagai pandu nasional yang tunggal, sejarah gerakan Pramuka telah ada di Indonesia sejak 1912 sebagai bagian dari pemerintah kolonial Belanda. Pandu pertama telah ada pada 1916 dengan nama Javaanse Padvinders Organisatie (JPO); berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII.
 
Visi dasar kepanduan sejak awal didirikan Baden Powel berada pada wilayah pendidikan nonformal sehingga berada pada ruang keterbukaan dalam melakukan penguatan, perubahan, dan kreativitas untuk kemajuan bagi anggotanya. Ini berbeda dengan pendidikan formal-informal yang dipenuhi birokrasi, prosedur, dan kekakuan-kekakuan. Pramuka memilik gerak yang lebih lincah dalam berinteraksi dengan perkembangan dunia luar yang demikian dinamis dan terus melesat cepat. Apalagi dalam AD/ART gerakan Pramuka tegas mengamanatkan bahwa Pramuka bertujuan membina mental-spiritual bagi generasi muda. Pramuka dapat diharapkan perannya yang lebih besar karena problem mental spiritual inilah yang saat ini menjadi penyakit krusial bangsa ini, termasuk pada generasi mudanya.
 
Terlebih, hingga hari ini, Pramuka bisa dikatakan sebagai satu-satunya organisasi kepemudaan di negeri ini yang paling steril dari hiruk-pikuk kepentingan ekonomi politik. Hampir tidak pernah ada kekisruhan di dalam Pramuka. Pramuka benar-benar bercitra bening, suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Keunggulan inilah yang menyebabkan Pramuka dapat dengan tanpa hambatan masuk ke segala jenis dan jenjang pendidikan dari tingkat terendah hingga perguruan tinggi, bahkan di tengah-tengah masyarakat.
 
Keunggulan legitimasi yang demikian sempurna, selayaknya para aktivis dan pelopor gerakan Pramuka senantiasa mengolah aspek-aspek pedagogis, andragogis, dan psikologis dalam mewujudkan watak luhur generasi muda bangsa dan mandiri dengan segala bekal keterampilan praktis. Ini bukan pekerjaan mudah di tengah krisis bangsa yang dalam; mental generasi muda yang gandrung keinstanan, alergi terhadap proses perjalanan. Di pihak lain, pendidikan formal hanya mampu meng-cover aspek sedikit dari ranah kognitif, sementara afeksi dan psikomotorik menjadi barang langka.
 
Menyerahkan tanggung jawab ini hanya pada Pramuka tidaklah adil dan terlalu ngaya wara. Akan tetapi, Pramuka dengan Tri Satya dan Dasa Dharma-nya memungkinkan berada di garda depan dalam merantas krisis di atas. Hal ini didukung pula dengan sifat dari gerakan Pramuka sendiri yang memiliki jaringan organisasional secara nasional, internasional, dan universal sebagaiamana amanat konferensi sedunia Gerakan Pramuka di Kopenhagen, Agustus 1924.
 
Agenda utama Pramuka sesungguhnya upaya merekayasa pembentukan watak (attitude) dan nilai (value). Gerakan Pramuka selayaknya mampu melakukan klarifikasi terhadap berbagai penyimpangan yang ada secara terbuka, baik terkait dengan nilai etika, moral, religius, maupun akademik. Inilah inti dari Tri Satya dan Dasa Dharma yang elok itu, seperti tolong-menolong, musyawarah, rajin, hemat, disiplin, kerelaan, dan bertanggung jawab. Penting dilakukan gerakan secara masif, agar Pramuka dapat masuk berbagai sektor kehidupan di masyarakat bahkan seluruh birokrasi pemerintahan agar Tri Satya dan Dasa Dharma dapat mbalung sungsum (mendarah daging) dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan seluruh anak negeri.
 
Sekali lagi, ini tidak mudah karena kita semua harus mau jujur bahwa dalam tubuh internal sendiri masih ada berbagai kendala yang tidak bisa dianggap ringan. Pertama, bagaimana para aktivis Pramuka dapat menerjemahkan cita-cita Trai Satya dan Dasa Dharma dalam aktivitas konkret yang menarik bagi para anggotanya. Kedua, bagaimana kegiatan-kegiatan tadi dapat dipahami dan dikuasai para pembinanya.
 
Pramuka dengan anggota lebih dari 30 juta, tampak kedodoran dalam melakukan pemberdayaan. Selama ini yang terjadi lebih pada aspek seremonial, kemiliter-militeran , dan kesannya hanya mendompleng pada lembaga pendidikan formal. Padahal, Pramuka bukanlah kegiatan wajib bagi seluruh siswa di pendidikan formal namun yang terjadi Pramuka seakan menjadi barang wajib di sekolah. Lebih krusial lagi, sering terjadi lompatan-lompatan fase siaga (8-12), penggalang (12-15), penegak (15-18), dan pandega (18 ke atas atau perguruan tinggi). Ini terjadi semata karena faktor umum lebih mendominasi dibandingkan dengan aspek kemampuan-kemampuan tertentu yang mesti dikuasai anggotanya.
 
Akibat lanjutan dari situasi ini adalah tidak mudahnya mendapatkan pembina Pramuka yang mumpuni, memiliki kapasitas unggul paripurna, dan bermotivasi tinggi mengembangkan Pramuka yang dalam bahasa manajemen disebut well trained and well motivation. Padahal amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada Kongres 17 gerakan Pramuka di Jepang 1971 sangat luhur yang dalam mewujudkan kesiapan internal gerakan Pramuka yang paripurna. Anggota Pramuka bukan hanya dididik menjadi warga negara yang baik, tetapi juga menjadi manusia yang baik. Dalam rumusan pendidikan, Pramuka bertujuan membentuk good man (manusia yang baik), yaitu manusia yang berdaya, terdidik, dan berbudaya. Selamat ulang tahun, selamat berjuang! *** (Sumber: Pikiran Rakyat On Line, edisi 14 Agustus 2009)
 
Nurul Huda SA
Penulis, staf pengajar Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Jawa Barat.
Share:

Tidak ada komentar:

Recent Posts

Unordered List

BENNER 728X90