PEMKAB ASAHAN TERIMA LESBUPORA BERAUDIENSI
Rapat Kerja LESBUPORA Asahan
Pesan Ketua LESBUPORA Asahan Hari Ini
Musyawarah Cabang Muhammadiyah dan 'Aisyiyah Kisaran Timur.
Kompetisi Sains Madrasah Tingkat Nasional
Motivasi Hari Ini
Semoga kita semua senantiasi diberi kekuatan dalam menjalani hidup dan kehidupan di Muka Bumi Allah ini.
Serah Terima SK Lesbupora Asahan
Bahagia Menjadi Warga Muhammadiyah, Berikut Alasannya!
Dalam Lensamu Podcast pada Kamis (02/11), Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti ditanya tentang apakah pernah merasa bosan berkhidmat di Muhammadiyah. Pertanyaan ini terlontar oleh fakta bahwa pimpinan Muhammadiyah dari berbagai level sering disibukkan dengan rapat organisasi atau pengajian rutin.
“Istri saya sering tanya kok rapat terus. Rapat terus dan nggak ngurus sendiri. Itu ngurus orang lain terus. Secara fisik mungkin capek, tapi lelah jadi lillah,” kata Sayuti dengan tulus. Dia mengakui bahwa tugas-tugasnya mungkin menguras tenaga, namun ia menemukan kebahagiaan dalam pengabdian ini.
Meskipun seringkali dihadapkan pada rapat-rapat organisasi dan pengajian rutin, tugas-tugas dalam Muhammadiyah sangat beragam. Tiap-tiap pimpinan Muhammadiyah dari ranting hingga pusat seringkali terlibat dalam berbagai aktivitas sosial, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga layanan sosial. Variasi ini membuat pengalaman berkhidmat menjadi selalu menarik dan tidak monoton.
Dalam siniar tersebut, Sayuti juga mengutip Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam buku “The Power of Giving,” yang menyatakan bahwa menjadi seorang dermawan biasanya membawa kebahagiaan dan kepuasan. Rasa kepuasan yang diperoleh dari membantu orang lain adalah salah satu faktor yang membuat berkhidmat di Muhammadiyah terasa begitu menyenangkan.
Menurut Sayuti, berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah adalah bentuk pengabdian yang dijalani dengan penuh rasa senang, syukur dan ikhlas. Lain dari pada itu, aktif di Muhammadiyah adalah bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas pada sujud menghadap Sang Khaliq, tapi juga melibatkan upaya membangun mutu pendidikan, menghadirkan fasilitas kesehatan, dan menyediakan layanan konsultasi keagamaan.
Sederhananya, berkhidmat terhadap Muhammadiyah merupakan bentuk pengabdian kepada Tuhan. Membantu orang lain adalah bentuk ibadah yang yang disenangi Allah. Keyakinan ini memberikan rasa kepuasan dan kebahagiaan spiritual yang mendalam.
“Jadi kalau capek, secara fisik ada capeknya, tapi senang saja. Urusannya gonta-ganti, hari ini ngurus apa, besok ngurus apa, tapi lillah saja. Kita niat aktif di Muhammadiyah seperti itu. Aku ingin berkontribusi untuk orang lain,” tegas Sayuti.
Dengan semua faktor ini, berkhidmat di Muhammadiyah bukan hanya sekadar tugas organisasi, tetapi juga menjadi gaya hidup yang penuh makna, tujuan, dan kebahagiaan. Hal ini menjadikan berkhidmat di Muhammadiyah sebagai pengalaman yang senang dan tidak pernah membosankan bagi banyak anggotanya.
Begini Respon Rasulullah Saw Ketika Ada Sahabatnya yang Buang Gas atau Kentut
Pentingnya menjaga aib dan perasaan orang lain tercermin dalam sebuah cerita yang menggambarkan kisah dari masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Meskipun cerita ini mungkin terdengar sederhana, ia mengandung pelajaran yang mendalam dan relevan untuk kita terapkan dalam konteks kehidupan modern.
Cerita tersebut bermula ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya berkumpul untuk makan bersama. Tiba-tiba, salah seorang sahabat mengalami momen yang mungkin memalukan: melepaskan gas alias kentut. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah contoh nyata tentang etika dalam bertindak dan sikap menghormati orang lain.
Tidak ada satupun sahabat yang merendahkan atau mencela sahabat yang mengalami momen tak nyaman tersebut. Mereka memilih untuk menghormati privasi dan kenyamanan sahabat tersebut, yang merupakan tindakan mulia dalam hubungan sosial. Tidak ada yang melemparkan komentar atau membuat lelucon yang dapat memalukan sahabat tersebut.
Tak lama setelah menyantap kudapan daging unta, azan maghrib pun berkumandang. Waktu salat telah tiba. Beliau menyarankan agar mereka yang makan daging unta berwudhu sebelum melaksanakan salat Maghrib. Rasulullah SAW pun bersabda, “Siapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Perintah Rasulullah SAW agar mereka yang makan daging unta berwudhu bukanlah berarti bahwa memakan daging unta secara otomatis membatalkan wudhu. Ini adalah contoh bagaimana Rasulullah SAW bertindak dengan bijaksana dan penuh perasaan terhadap perasaan sahabat yang sebelumnya melepaskan gas. Rasulullah SAW ingin memastikan bahwa sahabat tersebut tidak merasa malu atau terpapar dalam situasi tersebut.
Selain itu, Rasulullah SAW juga pernah memberikan nasihat tentang menghormati dan tidak perlu merendahkan orang lain, bahkan dalam situasi yang bisa dianggap lucu atau memalukan. Nabi Saw pernah bertanya kepada para sahabat mengapa mereka tertawa ketika mendengar kentut, sementara mereka juga mengalami hal serupa. “Mengapa kalian mentertawakan kentut yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari 4942 dan Muslim 2855).
Apa yang dilakukan Rasulullah di atas mencerminkan perubahan budaya sosial dari masa jahiliyah ke masa Islam. Dalam budaya Arab pra-Islam, peristiwa memalukan seperti buang gas dianggap sebagai insiden yang perlu dirayakan dengan perundungan dan gelak tawa. Tetapi setelah menerima ajaran Islam, mereka belajar untuk lebih bijaksana dan menghormati satu sama lain.
Dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, Al- Mubarokfuri mengatakan, “Dulu mereka (para sahabat) di masa jahiliyah, apabila ada salah satu peserta majelis yang kentut, mereka pada tertawa. Kemudian beliau (Rasulullah Saw) melarang hal itu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 9/189).
Pesan dari kisah ini sangat relevan dalam kehidupan kita. Ini mengajarkan kita untuk selalu berperilaku sopan, menghormati privasi dan kenyamanan orang lain, menjaga kebersihan dalam ibadah, dan tidak merendahkan orang lain, bahkan dalam situasi yang mungkin memalukan atau lucu. Etika adalah hal yang tak ternilai dalam membentuk hubungan sosial yang sehat dan bermakna dalam masyarakat kita.
Imam Al-Ghazali, Biografi Sosial dan Politik Kehidupan Si Pemikir Islam
Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat menggelar kajian bedah kitab turats. Kitab yang dikaji adalah Al Munqidz min Al Dhalal karya Abu Hamid Al Ghazali.
Dalam pertemuan pertama pada Sabtu (27/08), Muhamad Rofiq Muzakkir terlebih dahulu membahas latar sosial-politik saat Al Ghazali hidup. Bahasan ini penting didahulukan agar dapat melihat lanskap pandangan Sang Imam secara utuh lengkap dengan konteks spasial yang melingkupinya.
Al-Ghazaki dan Kekhalifahan Islam
Menurut Rofiq, pada abad ke-9 Masehi terdapat tiga klaim kekhalifahan besar dalam sejarah Islam, yaitu: Umayyah II di Andalusia, Fatimiyyah di Mesir, dan Abbasiyah di Irak.
Al Ghazali yang lahir pada tahun 1058 Masehi menetap dan menghabiskan kesehariannya di wilayah Abbasiyah, tepatnya di Khurasan. Sebagai kerajaan yang berbasis sunni, Hujjatul Islam sering berbalas argumen lewat tulisan dengan orang-orang Syiah yang berpusat di Fatimiyyah.
“Jadi dalam sejarah Islam, kita pernah memiliki tiga institusi kekhalifahan. Dua berbasis sunni yaitu Umayyah II dan Abbasiyah, sementara Fatimiyyah berbasis Syiah. Al Ghazali menulis buku untuk merespon pandangan-pandangan intelektual dan politik dari dinasti Fatimiyyah,” ucap Rofiq.
Pada masa Al-Ghazali hidup, Khurasan merupakan provinsi di daratan Persia yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Saljuq. Wilayah ini banyak melahirkan para ahli di berbagai bidang seperti filafat, teologi, hukum, hadis, tafsir, dan bahasa. Para pemikir yang lahir dari provinsi ini—selain Al Ghazali—Nizam Al Mulk, Al Juwaini, Al Baqillani, Ibnu Furak, Al Baihaqi, Al Khazin, Abu Ubayd al Qasim, dan lain sebagainya.
Rofiq mengungkapkan alasan mengapa tempat-tempat di Khurasan seperti Naisabur, Samarkand, Bukhara, Ghazni, Merv, Khiva dan kota penting lainnya menjadi pusat berkembangnya kebudayaan dan tradisi intelektual.
Bukan hanya mendapat patronase dari penguasa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, namun juga karena letak Khurasan dilalui jalur sutra yang menghubungkan perdagangan Timur dan Barat. Dengan adanya jalur sutra ini, selain memainkan peran sentral dalam transfer barang dan jasa, tapi juga pertukaran ide dan budaya antar peradaban.
Konflik Politik dan Kemerosotan di Dinasti Islam
Pada abad ke-9 Masehi terjadi dua fenomena di Abbasiyah, yaitu disintegrasi wilayah dan erosi pengaruh Khalifah. Disintegrasi Abbasiyah adalah munculnya dinasti-dinasti kecil akibat dari adanya perebutan pengaruh kekuasaan antara bangsa Persia-Turki dan konflik Sunni-Syiah di wilayah timur Baghdad.
Persaingan itu menimbulkan penurunan kharisma istana, dan kemerosotan mekanisme politik dan administrasi. Dengan kata lain, situasi ini melahirkan kekuasaan independen dan seakan terputus dari pusat kerajaan Abbasiyah.
Lahirnya dinasti-dinasti kecil yang dipimpin Amir atau Sultan (jabatan setingkat gubernur di bawah Khalifah) ini secara bergantian menguasai Khurasan. Dinasti tersebut antara lain Tahirid (821-873), Saffarid (861-1003), Samanid (874-999), Ghaznavid (976-1186), Buwaihiyyah (945-1055), Saljuq (1037-1194). Al Ghazali sendiri hidup di bawah patronase dari Dinasti Saljuq.
Selain itu, munculnya dinasti-dinasti kecil ini menyebabkan jatuhnya pengaruh Khalifah. Hal tersebut terjadi karena secara tidak langsung kemunculan dinasti kecil ini melahirkan struktur hirarkis yang menempatkan Khalifah di posisi paling tinggi, di bawahnya Sultan Muazzam atau Amir al-Umara (tokoh militer), kemudian ada Wazir (Perdana Menteri), dan di paling bawahnya lagi para Amir/Wali/Sultan (Gubernur).
Menurut Rofiq, meskipun Khalifah ditempatkan di posisi paling atas, namun ia tidak memiliki pengaruh politik apapun. Khalifah tidak lain hanya simbol semata, sementara penguasa politik yang sesungguhnya dipegang oleh Sultan Muazzam dan Wazir. Dalam mekanisme politiknya, Sultan Muazzam dapat menurunkan serta menaikkan Khalifah sesuka hati. Bahkan dalam beberapa kejadian, hal tersebut pernah dilakukan oleh Wazir.
Al-Ghazali dan Politik Mahzab
Al Ghazali hidup di bawah tiga Khalifah yaitu Al Qaim bii Amrillah, Al Muqtadi, dan Al Mustazhir. Pada masa Al Mustazhir, ia pernah menulis kitab berjudul Fadhaih al-Bathiniyyah wa Fadhail al-Mustazhiriyyah (kebobrokan aliran Bathiniyah dan keutamaan Khalifah al-Mustazhir).
Kitab tersebut ditulis sebagai pembelaan intelektualnya terhadap Khalifah Al Mustazhir yang dianggap kurang legitimate oleh kalangan Syiah karena usianya baru 17 tahun.
Sementara itu, ada tujuh Sultan Muazzam yang saling bergantian di masa Al Ghazali, di antaranya: Tughril Bek, Alp Arslan, Muhammad Malik Shah, Mahmud bin Malik Shah, Barkiyaquk bin Malik Shah, Malik Shah, dan Muhammad Tapar. Sedangkan posisi Wazir di era Al Ghazali, yaitu: Al Kunduri, Nizam al-Mulk, dan Fakhr al Mulk.
Para penguasa politik ini terutama setelah era Sultan Muazzam Tughril Bek membawa paham keagamaan: untuk fikih mengikuti Mazhab Syafii dan urusan kalam mengikuti Mazhab Asy’ariyah.
“Selama periode Tughril Bek, terjadi persekusi terhadap ulama Syafii dan Asy’ari. Al Juwayni, guru Al Ghazali, harus mengungsi dari Nishapur. Mazhab Syafii dan Asyari berkembang setelah Sultan Muazzam dipegang oleh Alp Arslan,” terang lulusan Arizona State University ini.
Penulis: Ilham Ibrahim
Sumber: muhammadiyah.or.id
Kata "Indonesia" di SM sebelum Sumpah Pemuda 1928
Ini sebagai satu respons thd tuduhan yg belakangan ini bersebaran bahwa sebagian kelompok Islam tidak mau terlibat dalam Sumpah Pemuda 1928. Yang pasti itu bukanlah Muhammadiyah.
Haji Fachrodin: Sang Revolusioner Muhammadiyah
Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena merupakan karya sejarah yang cukup komprehensif menggambarkan sosok Haji Fachrodin. Buku ini sekaligus sebagai “klarifikasi resmi” penulisnya yang sebelumnya manganggap Haji Fachrodin adalah ayah kandung Pak AR Fakhrudin Jogja. Selain itu buku ini menggambarkan secara komprehensif pemikiran dan perjalanan hidup Fachrodin. Setidaknya dalam buku ini sosok Fachrodin bisa dilihat dari tiga dimensi, yaitu sebagai seorang ulama, tokoh pergerakan (aktivis buruh), dan tokoh pers.
Sebagai seorang ulama, sosok Fachrodin tidak diragukan lagi. Meskipun tidak mengenyam pendidikan (agama) secara formal tetapi pengetahuan agamanya sangat luas, menguasai khazanah intelektual Islam klasik dan modern. Terbukti bahwa ia sering mengisi rubrik pengajaran agama dan kolom tanya jawab agama di majalah Soewara Moehammadijah (hal. 109) dan kemudian diberi amanat menjadi ketua pertama Bagian Tabligh Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Kiprahnya sebagai tokoh pergerakan bisa dilihat dari radius pergaulannya yang luas melampaui sekat sekat ideologi, politik, dan golongan. Haji Fachrodin memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh revolusioner “kiri” seperti Alimin, Darsono, dan Haji Misbach. Uniknya, di sebelah lain Fachrodin juga aktif sebagai penningmeester Centraal Sarekat Islam dan dekat dengan tokoh-tokohnya (HOS Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Haji Agoes Salim). Haji Fachrodin dikenal radikal-revolusioner dalam pemikiran dan tindakan sehingga ia termasuk di “jalur kiri” dalam peta perpolitikan nasional, yaitu ketika ia bergabung dalam surat kabar Doenia Bergerak, aktif sebagai wakil ketua ISDV Cabang Yogyakarta, IJB, dan Insulinde. Ketika memimpin ISDV Cabang Yogyakarta bersama Soerjopranoto, Fachrodin berhasil menggalang sarekat-sarekat tani dan buruh sampai ke pelosok pedesaan dan melakukan aksi pemogokan di pabrik-pabrik gula sebagai bentuk protes terhadap pemerintah kolonial.
Dunia pers dan penulisan tidak bisa dilepaskan dari sosok Fachrodin. Bakat menulisnya sudah tampak sejak aktivitasnya mengikuti pengajian modernis Ahmad Dahlan di Langgar Kidul. Bakat tersebut semakin terasah ketika ia belajar jurnalistik kepada Mas Marco Kartodikromo. Fachrodin tercatat sebagai tokoh penting pers di masa pergerakan. Ia terlibat sejak awal penerbitan surat kabar Medan-Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917) bersama Haji Misbach (Solo). Fachroedin juga pernah tercatat sebagai pimpinan redaksi surat kabar mingguan Srie Diponegoro, kontributor di surat kabar Doenia Bergerak (1919), redaktur Pambrita CSI (1920), Soewara Moehammadijah (1920), Bintang Islam (1923), Tjamboek (1925), Soengoeting Moehammadijah, Pertimbangan (1924). Karena tulisan-tulisannya yang tajam dan tidak jarang membuat pemerintah kolonial “kebakaran jenggot”, Fachrodin sering keluar masuk penjara karena delik pers. Selain di dunia pers, Fachrodin juga cukup banyak menulis buku, salah satunya yang terkenal adalah buku Marganing Koemawoela.
Kehadiran buku Benteng Muhammadiyah ini bukti masih adanya orang Muhammadiyah yang peduli dengan geliat intelektualisme serta kesejarahan dalam Muhammadiyah. Banyak data dan informasi penting yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengetahui sejarah awal pergerakan nasional dan perjalanan tokohnya. Lebih penting dari buku ini adalah menyadarkan warga dan pimpinan Muhammadiyah untuk tidak abai terhadap khazanah intelektual warisan para tokoh pendiri Muhammadiyah. Terbitnya buku ini menambah referensi tentang Fachrodin, salah satu pendiri Muhammadiyah, pahlawan nasional, tokoh pergerakan nasional, pers, dan ulama yang disegani di zamannya. Kita rindu pimpinan-pimpinan Muhammadiyah seperti Fachrodin, sosok revolusioner dalam pikiran dan tindakan.
(tulisan ini pernah dimuat di Majalah PK Media Perguruan Muhammadiyah Kottabarat-Surakarta)
Haji Fachrodin: Pemimpin Redaksi (Hoofdredacteur) Suara Muhammadiyah Yang Pertama
Fachrodin seorang pengusaha, wartawan, aktivis pergerakan, dan muballigh. Sejak muda ia telah merintis usaha percetakan, pabrik rokok, dan perhotelan. Ia tercatat sebagai anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Kiprah Fachrodin cukup berpengaruh dalam penerbitan surat kabar Dunia Bergerak, Medan-Muslimin, Islam Bergerak, Srie Diponegoro, Suara Muhammadiyah, dan Bintang Islam. Karir di politik pergerakan mencapai puncak ketika ia menjadi penningmeester (bendahara) Centraal Sarekat Islam (CSI) mendampingi HOS. Tjokroaminoto.
Di Muhammadiyah, ia masuk dalam jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah sejak masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Ibrahim. Dialah inisiator dan Hoofdredacteur (Pemimpin Redaksi) Suara Muhammadiyah pertama. Suara Muhammadiyah terbit pertama kali pada tahun 1915 di Yogyakarta, seangkatan dengan Medan-Muslimin dan Islam Bergerak di Solo.
13 Hal yang Perlu Diketahui tentang Amal Usaha Muhammadiyah
- Amal usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usaha-usaha dan media dakwah persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan persyarikatan. Oleh karenanya semua bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan tujuan persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha ber-kewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah.
- Amal usaha Muhammadiyah adalah milik persyarikatan dan persyarikatan bertindak sebagai Badan Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan persyarikatan hendaknya dapat diinventarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku.
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan sebagai milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat.
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut, karena itu status keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi pimpinan tersebut agar yang bersangkutan memahami secara tepat tentang fungsi amal usaha tersebut bagi persyarikatan dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan-kepentingan Persyarikatan;
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam mengemban amanah p Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi manajemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaik-baiknya dan sejujur jujurnya;
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengembangkan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi sangat penting agar amal usaha senantiasa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al–khairāt) guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman;
- Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usaha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku) yang disertai dengan sikap amanah dan tanggungjawab akan kewajibannya. Untuk itu setiap pimpinan persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan;
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban untuk melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan/kekayaan kepada pimpinan persyarikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit.
- Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dan menjadikan amal usaha yang dipimpinnya sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat;
- Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesuai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan karyawan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, melalaikan kewajiban dan bersikap berlebihan;
- Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas, dan ibadah;
- Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak silaturahim dan membangun hubungan-hubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha masing-masing;
- Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktivitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan-kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah dan memperkaya ruhani serta kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Qur’an dan sunnah , dan bentuk-bentuk ibadah dan mu’amalah lainnya yang tertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal usaha Muhammadiyah.
Sumber: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000), h. 76-80.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam Pembantaian 1965
Permintaan maaf ini kemudian menggerakkan anak-anak muda NU mendirikan Syarikat Indonesia (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakat) guna melakukan proses rekonsiliasi kultural, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca rezim Orde Baru.
Pertanyaannya: mengapa studi keterlibatan Muhammadiyah sedikit dan bahkan tak ada yang membahasnya, kecuali secara selintas? Apakah Muhammadiyah benar-benar bersih dari peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya 200 ribu-1 juta anggota PKI dan siapa pun yang di-PKI-kan?
Secara geografis dan kapital ekonomi, relatif sulit menemukan keterlibatan Muhammadiyah karena dua hal. Pertama, Muhammadiyah tumbuh dan besar di wilayah perkotaan. Kedua, profesi kebanyakan kelompok Islam modernis adalah berdagang.
Dua hal itu kelihatannya menjauhkan Muhammadiyah dari konflik-konflik tanah di desa-desa nyaris seluruh Jawa sejak Partai Komunis Indonesia menggaungkan reforma agraria. Kebijakan reforma agraria pada 1960-an mengancam kiai dan pesantren, pemilik tanah luas, yang menciptakan prakondisi pembunuhan massal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Woodward: 2011). Latar belakang inilah yang setidaknya menjadi alasan mengapa banyak para sarjana, baik dalam dan luar negeri, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari subjek studi pembunuhan massal 1965-1966.
Namun, latar belakang tersebut jadi janggal jika melihat dua fakta.
Pertama, sejarah KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah) sebagai badan paramiliter yang berdiri di Jakarta pada 1 Oktober 1965, pukul 21.30, adalah respons terhadap “Gerakan 30 September”. Ketua dan komandan pertamanya adalah Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. KOKAM menyelenggaran pelatihan kursus “Kader Takari”, tujuannya untuk “meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan”.
Kursus kader ini dibuka pada 1 September 1965 ini, diikuti oleh 250 orang untuk angkatan pertama, diikuti orang tua dan angkatan muda, baik laki-laki maupun perempuan dari utusan Cabang. Acara ini diselenggarakan di Aula Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan penanggung jawab PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) DKI Jakarta.
Sebagai Komandan KOKAM, Letnan Kolonel S. Prodjokusumo mengeluarkan tiga instruksi penting: 1) Pembentukan KOKAM di setiap cabang Muhammadiyah dan tiap pimpinan cabang harus memberikan laporan setiap hari ke mabes KOKAM di Jl. Limau Kebayoran Baru; 2) Angkatan Muda Muhammadiyah disetiap cabang bertanggungjawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di masing-masing cabang; seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah agar siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela agama, negara dan bangsa; 3) Mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan anti Gerakan 30 September.
Setelah selesai mengeluarkan instruksi (Perintah Harian) maka peserta kursus dipersilakan pulang ke tempat masing-masing dengan sikap waspada (sangpencerah.id, 30 September 2017).
Kedua, amplifikasi gerakan anti komunis. Secara historis, khususnya di pulau Jawa, NU (termasuk Banser dan GP Ansor) memiliki legitimasi lebih besar untuk mengakumulasi kebencian terhadap PKI saat rezim Orde Baru berkuasa. Namun setelah Soeharto tumbang, justru dari kelompok Islam modernis yang memimpin wacana dan gerakan anti-komunis. Apalagi saat ini mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, getol menyerukan isu kebangkitan PKI, yang pada level akar rumput dipercaya anggota Muhammadiyah di beberapa daerah. Sebaliknya, kaum Nadhliyin justru kurang percaya isu tersebut, bahkan tak terpancing.
Di aras lokal, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966 ini bekerja secara kontradiktif; sebagai tempat perlindungan sekaligus melegitimasi kekerasan.
Riset Mark Woodward berjudul "Only Now We Can Speak: Remembering the Politicide in Yogyakarta"(2011) mengungkapkan bahwa di Yogyakarta, orang-orang Muhammadiyah melindungi siapapun yang dituduh PKI di tengah gencarnya upaya pembersihan rejim Orde Baru. Anggota PKI yang kebanyakan muslim abangan pun memilih jadi muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Pilihan menjadi anggota Muhammadiyah didorong motif yang sangat sederhana: selain tidak memiliki banyak hafalan untuk doa-doa, cara ibadah Muhammadiyah yang lebih efektif justru memudahkan mereka mempraktikan nilai-nilai kejawaan dan keislaman secara bersamaan.
Situasi berbeda ditemukan di Medan. Seperti terungkap dalam kiriman telegram 6 Desember 1965 dari Konjen AS di Medan ke Kedubes AS, para ustadz Muhammadiyah terlibat memprovokasi jamaahnya agar membunuh orang-orang yang secara sadar terlibat PKI. Ini karena, menurut mereka, membunuh orang-orang PKI itu sebanding dengan “membunuh seekor ayam”. Kebijakan organisasi Muhamamdiyah ini memiliki implikasi tafsir yang sama dengan kelompok konservatif NU ketika menyikapi PKI. Untuk lebih jelasnya dan kekhawatiran untuk menghindari kesalahan persepsi, saya taruh teks itu secara lengkap. Teks ini saya kutip dari Human Rights Watch melalui situsnya www.hrw.org (18 Oktober 2017).
"Sumber Muhammadiah melaporkan, para pengkhotbah di masjid Muhammadiyah menyerukan kepada jemaat mereka bahwa semua orang yang secara sadar bergabung dengan PKI harus dibunuh. Anggota PKI 'sadar' diklasifikasikan sebagai kafir terendah, penumpahan darahnya sebanding dengan membunuh seekor ayam. Pernyataan ini tampaknya memberi izin kepada Muslim Muhammadiyah untuk membunuh. Kebijakan Muhammadiyah yang reformis sangat mirip dengan isu 'Tafsir Final' keluaran NU yang konservatif, yang memperlihatkan bahwa pendapat Muslim mengenai penyingkiran anggota-anggota PKI diambil dengan suara bulat." (Kabel berlabel "Rahasia" dari Konsulat AS di Medan ke Kedutaan Besar AS di Jakarta, 6 Desember 1965)".
Melihat dua respon berbeda mengenai PKI, apa yang diungkapkan Abdulah Mu’ti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah terkait dengan dokumen rahasia Amerika Serikat pada tahun 1965 ini memang ada benarnya, meskipun kurang tepat. Menurutnya, keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965 itu lebih bersifat pernyataan pribadi ketimbang keputusan organisasi.
Namun, melihat berdirinya KOKAM, di mana organisasi tersebut merupakan bagian dari organisasi otonom di bawah langsung Pimpinan Muhammadiyah, sulit untuk menilai pernyataan tersebut sebagai pandangan pribadi. Dari yang telah diteliti para sarjana seperti Southwood dan Flanagan (1983), Fein (1993), Robinson (1995), dapat diketahui bahwa pembunuhan massal itu dilakukan Angkatan Darat, dalam hal ini RPKAD dengan meminta (dan "memaksa") bantuan milisi-milisi lokal di daerah. Dengan kata lain, pembunuhan dilakukan secara sistematis dan teroganisir.
Maksud sistematis dan teroganisir di sini lebih kompleks ketimbang bahwa pola pembunuhan telah direncanakan dan disiapkan dengan matang, baik sebab dan akibatnya, serta terukur dampaknya.
Sebelum melakukan pembunuhan biasanya RPKAD, dibantu para milisi lokal yang terdari dari beragam organisasi kepemudaan non-komunis, sudah memiliki daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh. Namun seringkali di lapangan terjadi praktik “operasi tidak teratur” sehingga jumlah korbannya melampaui daftar nama-nama orang PKI yang harus dibunuh.
Di Jombang dan Kediri, misalnya, militer bersikap relatif pasif, meskipun bukan berarti mereka tidak memberikan izin membunuh. Sikap militer yang seperti itu membuka arena pertarungan bagi kelompok-kelompok Islam setempat—dengan persetujuan diam-diam dari para kyai—untuk membunuh orang-orang PKI tanpa adanya penengah yang mampu mengendalikan kelompok-kelompok ini (Sulistyo, 2011). Dengan kata lain, konteks lokal dan bagaimana relasi kekuasaan antar kelompok masyarakat sipil dan keagamaan saat itu menentukan bagaimana skala pembunuhan massal terjadi.
Bertolak dari penjelasan di atas, jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan ini tidak cukup untuk dijadikan basis argumen yang kuat, namun bisa menjadi pemantik diskusi dan riset lanjutan lebih dalam tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam peristiwa 1965-1966, baik secara organisasi maupun perorangan.
Hal ini perlu dilakukan agar masa lalu diletakkan pada tempatnya ketimbang terus-terusan jadi hantu, sehingga diskursus 1965 dan upaya rekonsiliasi bisa menyumbang pembaharuan narasi sejarah.
Muhammadiyah memiliki banyak doktor lulusan dalam dan luar negeri yang cukup kompeten di bidangnya, khususnya ilmu sosial dan kemanusiaan. Namun dengan kompetensi tersebut, apakah potensi riset-riset tentang keterlibatan Muhammadiyah dalam pembantaian massal 1965 bisa dilakukan oleh mereka? Jika melihat konteks politik saat ini, di tengah menguatnya populisme Islam di ruang publik, saya ragu itu bisa terjadi.
======
Catatan dari redaksi:
Tirto menghubungi Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak untuk mendapatkan konfirmasi mengenai keterlibatan Muhammadiyah, khususnya melalui Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dalam pembunuhan massal 1965. Melalui sambungan telepon, Dahnil mengatakan: "Iya, fakta sejarah memang pada saat itu kelompok Islam berhadap-hadapan dengan kelompok PKI saat itu. Itu fakta sejarah, tidak perlu ditutup-tutupi, termasuk Kokam."
Kokam, kata Dahnil, didirikan Kolonel H.S. Projokusumo atas instruksi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Lukman Harun. Sebelumnya, Projokosumo sudah meminta izin dari komandan RPKAD saat itu, Sarwo Edhie Wibowo. Dan RPKAD tidak sekadar memberi izin.
"Kader (Kokam) angkatan pertama," terang Dahnil, "dilatih oleh RPKAD melalui Pak H.S. Prodjokusumo karena memang pada saat itu kader-kader Muhammadiyah banyak dari TNI. Makanya Kokam baretnya merah, karena itu identik dengan Pak H.S. Prodjokusumo dari RPKAD yang sekarang disebut Kopassus. Dalam sejarah Kokam, memang teman-teman Kokam banyak dilatih Kopassus sebagai paramiliter. Termasuk saat Orde Baru, Kokam juga dilatih Kopassus di Jawa Tengah dan lainnya."
Ketika ditanya sikapnya tentang rekonsiliasi, Dahnil menjelaskan bahwa rekonsiliasi perlu dilakukan. "Jangan dosa dan dendam, baik dendam kelompok Islam kepada keturunan PKI, atau keturunan PKI kepada Islam itu dirawat"