• Drs. MOHD. AKHIYAR, MA.

    Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Asahan

  • H. NGATIMAN AS.

    Koordinator Bidang Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • ZUL AZMI, SH., M.Si.

    Ketua Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • RUDY S. MARPAUNG

    Sekretaris Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • CITRA, SE

    Bendahara Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

Buya Ahmad Syafii Maarif dan PKI


Ahmad Najib Burhani*

Beberapa hari yang lalu penulis sebagai admin dari facebook-fanpage Muhammadiyah Studies memposting kutipan pernyataan Buya Ahmad Syafii Maarif yang berbunyi, “PKI yang sudah masuk kuburan sejarah jangan dibongkar lagi untuk tujuan politik kekuasaan. Sungguh tidak elok, sungguh tidak mendidik. Generasi baru Indonesia jangan lagi diracuni oleh cara-cara berpolitik yang tidak beradab”. Kutipan itu berasal dari tulisan Buya sendiri di Republika, 18 Juli 2017. Postingan itu dibaca oleh lebih dari 140 ribu pengguna facebook dan di-share oleh lebih dari 710 orang. Follower dari fanpage ini sebetulnya tak terlalu banyak, sekitar 23 ribu, namun status itu mendapat respon beberapa kali lipat dari jumlah pengikut fanpage itu sendiri. Sebelumnya, meme yang sama telah dibagi lewat twitter oleh akun @biografly dan juga viral atau menjadi trending topic.

Kutipan itu sebetulnya adalah sebuah nasehat dari orang tua dan guru bangsa yang pernah hidup di zaman penjajah, Orde Lama, Orde Baru, dan juga Era Reformasi. Sebagai simpatisan berat Masyumi, Buya adalah orang pernah mengalami hidup dalam sengitnya pertarungan politik dan sosial antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Partai-partai Islam. Karena itu ia juga pernah menjadi penentang keras PKI dan bahkan menyebut masa lalunya sebagai “fundamentalis” dan bagian dari kelompok “garis keras” (Maarif 2009). Hal yang sangat mengejutkan dari postingan tersebut adalah berbagai komentar dan respon yang muncul.

Ada yang mengecam Buya dengan beragam istilah yang sangat kasar, ada yang mengutuk dan melaknat, dan ada juga yang menuntut kepada Muhammadiyah untuk bersikap terhadap Buya. Beberapa diantaranya perlu disebutkan di sini untuk melihat seperti apa ekspresi orang terhadap tokoh sekaliber Buya yang memberikan nasehat tentang sejarah Indonesia. Mulai dari sebutan “orang tua gila”, “pembela penista”, “si tua”, “sudah bau tanah”, “kecebong”, “koplaxx”, “antek”, “tai kucing”, “semakin tua semakin sesat”, “si pikun utek liberal”, “kerak neraka”, “cari makan”, “dasar orang tua… tobat orang tua”, “semakin tua semakin kehilangan akal”, “agen PKI kedok ulama”, “intelek kok guoblok”, “ulama syu’”, “berbicaranya lantang, tapi telinganya tuli, pandanganya buta”, dan juga sebutan yang sudah sering dialamatkan kepadanya, yakni “liberal”.

Sementara mereka yang menuntut agar Muhammadiyah menghukum Buya menyebutkan bahwa Buya adalah “tokoh Muhammadiyah paling mengecewakan”, “mamalukan Muhammadiyah”, dan orang yang tidak bisa menjaga diri, terutama terkait dengan “mulutnya tidak beradab”. Permintaan kepada pimpinan Muhammadiyah juga berupa peninjauan “keberadaan Syafii Maarif di lingkaran para tokoh muhammadiyah” dengan alawan bahwa opininya “lebih sering menyesatkan umat”. Tuntutan pribadi yang agak ringan adalah meminta agar Buya bertobat, atau meminta orang lain agar tak lagi memanggilnya buya karena tak pantas lagi dengan sebutan itu, atau meminta Buya sekolah lagi biar pintar. Ada juga yang berdoa agar Buya mendapat hidayah dan dijauhkan dari virus pluralisme atau berdoa agar Buya husnul khatimah.

Tentu saja ada yang mencoba mendudukkan persoalan dengan melihat dan membaca secara seksama kalimat-kalimat yang disampaikan Buya itu dan meminta jangan saling kecam serta menjaga tatakrama terhadap orang tua. Dukungan, pembelaan, pujian dan doa agar Buya diberi kesehatan dan panjang umur juga bisa ditemukan dalam berbagai komentar.

Berkaitan dengan fanpage itu sendiri, ada sejumlah follower (sekitar 30 orang) yang lantas keluar atau memblokir fanpage tersebut. Ada yang mengancam admin agar tidak bertindak macam-macam. Ada yang menuduhnya liberal, bagian dari JIMM, corong Buya atau “antek syafii”, dan bahkan ada menganggap fanpage itu sebagai infiltrasi dari NU (Nahdlatul Ulama) untuk memecah Muhammadiyah. Namun tampaknya jumlah yang keluar dan memblokir itu sebetulnya jauh lebih kecil daripada jumlah yang menjadi follower baru. Ini bisa dilihat dari jumlah follower yang mengalami kenaikan cukup banyak dibandingkan dengan sebelum adanya posting itu. Mengambil sikap atau keberpihakan dalam kasus-kasus yang membelah masyarakat itu memang bisa menaikkan jumlah followers atau likers. Ini yang membuat sebagian aktivis sosial media menikmati sikapnya yang sektarian.

Kasus seperti ini sudah kesekian kali terjadi. Sebelumnya kontroversi yang heboh terjadi ketika memasang foto Joko Widodo mengimami sholat warga Muhammadiyah. Kemudian, kontroversi kembali ramai ketika posting “Muhammadiyah garis lucu” keluar. Bagi Buya sendiri, ini tentu bukan pertama kalinya mendapat bully sedemikian rupa. Ketika Buya menulis beberapa artikel terkait Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), ia juga mendapat bully dari banyak orang, Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah.

Apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini? Pertama, mereka yang berkomentar jahat terhadap Buya itu kemungkinan besar tidak membaca secara utuh tiga tulisan pendeknya tentang PKI di Republika yang berjudul “Isu kebangkitan PKI jadi ritual tahunan” (26/9), “PKI dan kuburan sejarah (1)” (11/7), dan “PKI dan kuburan sejarah (2)” (18/7). Jika mereka membaca dan mencoba memahami, maka akan didapati kesimpulan yang sama sekali berbalik dari tuduhan bahwa Buya sedang membela PKI. Di beberapa bagian dari artikel itu Buya dengan jelas menunjukkan kekejaman PKI dan watak komunisme yang anti-demokrasi dan antikemanusiaan. Buya menegaskan bahwa “rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan”.

Kedua, mereka yang mem-bully Buya itu hanya melihat kalimat atau kutipan yang dipakai sebagai meme. Kalimat yang merupakan pesan akhir Buya di artikel “PKI dan kuburan sejarah (2)” itu sebetulnya juga memberi keterangan tentang penggunaan isu PKI untuk “tujuan politik kekuasaan”. Sayangnya, kata-kata itu juga tidak diperhatikan. Seandainya yang dikutip dan dibuat meme adalah kalimat “komunisme itu anti-demokrasi dan antikemanusiaan” dan “rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan”, maka bisa saja ini dipakai sebagi dukungan bagi kelompok yang saat ini mengungkit-ungkit isu PKI untuk tujuan politik. Namun mereka yang sudah benci dan antipati terhadap Buya bisa jadi tak mau melihat itu juga. Mereka sudah benti dan memandang negatif terhadap Buya, apapun yang ia katakan. Ini terlihat dari komentar yang selalu mengaitkan Buya dengan sikapnya terhadap isu Ahok beberapa waktu lalu.

Ketiga, seperti ditulis Merlyna Lim (2017), apa yang dialami Buya adalah contoh dari post-truth politics, dimana kebenaran itu bukan sesuatu yang pertama dan utama. Meski PKI itu sudah tidak ada, namun ketika ia dijual lagi dengan kemasan baru untuk menakut-nakuti rakyat dan dipromosikan sedemikian rupa, maka ia akan terjual juga. Branding baru tentang bahaya PKI dibuat dan di-viralkan. Orang jujur seperti Buya yang dengan baik-baik memberi nasehat lantas di-bully. Sosial media yang pada awalnya disanjung sebagai arena freedom of expression ternyata memiliki efek negatif seperti menurunnya kualitas informasi dan naiknya kebencian terhadap mereka yang berbeda. Upaya tabayyun (merefleksikan dan konfirmasi) terhadap perbedaan dan pertentangan juga sering hilang karena di dunia orang lebih sering bergerombol dengan yang seide (algorithmic enclaves) dan mematikan atau memutus hubungan dengan mereka yang berbeda pandangan.
-oo0oo-


Sumber: *Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah; Peneliti LIPI

Share:

Muhammadiyah dan PKI di Kotagede


Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi persyarikatan Islam yang ada di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan nama kecilnya Muhammad Darwis pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, tepatnya di Kampung Kauman. Organisasi Muhammadiyah ini bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi.

Kauman adalah kampung yang mempunyai rangkaian dengan Keraton Yogyakarta. Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang keagamaan, khususnya urusan kemasjidan, di sebuah lokasi khusus. Tanah tempat tinggal tersebut merupakan hadiah pengabdian mereka kepada Keraton.

Beberapa keluarga abdi dalem itu kemudian membentuk masyarakat, yang disebut dengan masyarakat Kauman. Lokasi tinggal dari masyarakat Kauman disebut dengan nama kampung Kauman.

Pada perkembangannya, masyarakat Kauman memiliki ikatan kekeluargaan yang pekat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ikatan yang kuat antara abdi dalem pamethakan yang mendorong terjadinya perkawinan endogami.

Kampung Kauman terletak tepat di barat alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Dengan luas wilayah 192.000 meter persegi, sebelah utara dibatasi Jl. KH Ahmad Dahlan, sebelah barat Jl. Nyai Ahmad Dahlan (dahulu Jl. Gerjen), dan sebelah selatan Jl. Kauman.

Lingkungan perumahan di kampung Kauman sangat padat dengan gang-gang kecil di dalamnya, sehingga keramahan penduduk dan suasana kampung religius Muhammadiyah ini akan sangat terasa.

Pada 1912, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman ini, pada mulanya tidak diterima oleh masyarakat Kauman. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya kampung ini menjadi kampung yang sangat fanatik dengan Muhammadiyah.

Banyak pimpinan Muhammadiyah yang muncul dari Kampung Kauman ini. Oleh karenanya, perkembangan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari Kampung Kauman. Kauman menjadi saksi tumbuh, berkembang dan majunya Muhammadiyah yang kini sudah menginjak usia 1 abad.

Heritage Muhammadiyah yang ada di kampung ini antara lain:
  1. Masjid Besar Kraton Yogyakarta
  2. Langgar Kidoel Kiai Dahlan (terletak di komplek rumah keluarga)
  3. Sekolah Pawiyatan (sekarang menjadi SD Muhammadiyah Kauman)
  4. Makam Nyi Ahmad Dahlan (sebelah barat Masjid Besar Kauman)
  5. Ndalem Pengulon (rumah penghulu)
  6. Gedung Pesantren (TK ABA Kauman yang merupakan TK ABA pertama)
  7. Mushala ‘Aisyiyah (masih menjadi mushala khusus wanita di kampung Kauman)
  8. Rumah keluarga pimpinan-pimpinan Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH. Hadjid, KH. Fakhruddin, KH. Yunus Anis dan Ki Bagus Hadikusuma
  9. Amal usaha Muhammadiyah: PKU Muhammadiyah, Toko Buku dan Kantor redaksi Majalah Suara Muhammadiyah

Pada tahun 1920, PKI masuk ke wilayah Kotagede Yogyakarta. Secara umum PKI telah mendapatkan dukungan dari banyak pihak termasuk di daerah Kotagede dan sekitarnya, yaitu Umbulharjo. Pusat PKI di Kotagede terletak di Prenggan dan Basen.

Pada tahun 1950 hingga 1960-an, Kotagede terkenal sebagai salah satu basis komunis di Kotapraja, Yogyakarta. Hal tersebut dibuktikan dengan PKI sebagai partai ke-2 yang mendapat banyak dukungan dari masyarakat pada saat pemilihan. Perekonomian masyarakat Kotagede yang rendah pada saat itu adalah salah satu alasan masyarakat menerima dan mendukung adanya PKI di kalangan mereka.

Sikap dari Muhammadiyah sendiri di kalangan masyarakat lebih mengandalkan kelompok ekonomi yang mapan untuk mengembangkan organisasi berdasarkan saling percaya di antara anggota dengan jalinan hubungan bisnis, kerabat dan perkawinan.

Hal itulah yang menyebabkan semakin terbukanya peluang bagi PKI untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan orang miskin, dan PKI juga dianggap sebagai organisasi yang toleran dan akomodatif baik terhadap Islam, maupun tradisi setempat.
Hubungan antara Muhammadiyah dan PKI yang sudah terjalin sejak tahun 1920-an ini memiliki pertentangan sehingga terjadilah sebuah konflik di antara keduanya.


Ditulis oleh:
Aisyah Rachmasari, Gibral Muhammad Albab, Zukhrufa Ken S.D., Syahda Nur Sahbani, Marchiana Wara A., Rani Septia Ningrum,  Nur Rahman Eka Wardani, Nila Ratna Kusuma Wardani.

Sumber: muhammadiyahstudies
Share:

Muhammadiyah dan NU: Penjaga Moderatisme Islam di Indonesia


Zakiya Darajat

Abstract

Islam has been expressed through its adherents in many ways. Sometimes the expression has been judged as hard and even arrogant. This is not the case with Islam in Indonesia which has been shown more friendly expression of Islam. However, the radical movements have challenged this peaceful image of Islam in Indonesian. The research which mainly utilized the library sources has concludes that Islam in Indonesia is still considered to be a moderate Islam and in this case, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama are two organizations which can be seen as the guardians of Islamic moderatism in Indonesia. 

Keywords


Moderatisme; Islam Indonesia; Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama

Full Text:

PDF

References

A. Syafi’i Ma’arif, Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Teologis, dalam ‎Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban, Yogyakarta: UII ‎Press, 2000.‎
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan Bandung: ‎Remaja Rosdakarya, 1999.‎
‎----------, Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Teologis-Historis, dalam Rekonstruksi ‎Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban, Yogyakarta; UII Press, 2000.‎
‎----------, Radikalisme NU dan Liberalisme Pemikiran NU dalam Konflik Baru Antar ‎Peradaban; Globalisasi, Radikalisasi dan Pluralitas, Jakarta: RajaGrafindo Persada, ‎‎2002. ‎
Abdul Rouf, NU dan Civil Islam di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2010,‎
Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, Jakarta: PBNU, 2013.‎
Airlangga Pribadi dan M. Yudhi R. Haryono, Post Islam Liberal, Jakarta: Gugus Press, 2002.‎
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.‎
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta; LkiS, 2003.‎
Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia; the Faltering Revival?”, Institute of Southeast ‎Asian Studies (2004), http://www.jstor.org/stable/27913255.‎
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo; Jazeera, 2004.‎
James Turner Johnson, The Holy War Idea in Western and Islamic Tradition (terj), Yogyakarta: ‎Qalam, 1997.‎
John. L. Esposito, Islam and Politics, New York: Syracuse University, 1998.‎
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta; Bulan ‎Bintang, 1984. ‎
Madjid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, New Jersey; The John Hopkins ‎University Press, 2006.‎
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi, Islam Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2003.‎
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi Relasi –Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, ‎Yogyakarta; LkiS, 2009.‎
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, Yogyakarta: ‎Pustaka Pelajar, 2010.‎

Sumber: muhammadiyahstudies
Share:

Recent Posts

Unordered List

BENNER 728X90