• Drs. MOHD. AKHIYAR, MA.

    Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Asahan

  • H. NGATIMAN AS.

    Koordinator Bidang Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • ZUL AZMI, SH., M.Si.

    Ketua Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • RUDY S. MARPAUNG

    Sekretaris Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

  • CITRA, SE

    Bendahara Lembaga Seni Budaya dan Pengembangan Olahraga (LESBUPORA) Muhammadiyah Kabupaten Asahan

Buya Ahmad Syafii Maarif dan PKI


Ahmad Najib Burhani*

Beberapa hari yang lalu penulis sebagai admin dari facebook-fanpage Muhammadiyah Studies memposting kutipan pernyataan Buya Ahmad Syafii Maarif yang berbunyi, “PKI yang sudah masuk kuburan sejarah jangan dibongkar lagi untuk tujuan politik kekuasaan. Sungguh tidak elok, sungguh tidak mendidik. Generasi baru Indonesia jangan lagi diracuni oleh cara-cara berpolitik yang tidak beradab”. Kutipan itu berasal dari tulisan Buya sendiri di Republika, 18 Juli 2017. Postingan itu dibaca oleh lebih dari 140 ribu pengguna facebook dan di-share oleh lebih dari 710 orang. Follower dari fanpage ini sebetulnya tak terlalu banyak, sekitar 23 ribu, namun status itu mendapat respon beberapa kali lipat dari jumlah pengikut fanpage itu sendiri. Sebelumnya, meme yang sama telah dibagi lewat twitter oleh akun @biografly dan juga viral atau menjadi trending topic.

Kutipan itu sebetulnya adalah sebuah nasehat dari orang tua dan guru bangsa yang pernah hidup di zaman penjajah, Orde Lama, Orde Baru, dan juga Era Reformasi. Sebagai simpatisan berat Masyumi, Buya adalah orang pernah mengalami hidup dalam sengitnya pertarungan politik dan sosial antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Partai-partai Islam. Karena itu ia juga pernah menjadi penentang keras PKI dan bahkan menyebut masa lalunya sebagai “fundamentalis” dan bagian dari kelompok “garis keras” (Maarif 2009). Hal yang sangat mengejutkan dari postingan tersebut adalah berbagai komentar dan respon yang muncul.

Ada yang mengecam Buya dengan beragam istilah yang sangat kasar, ada yang mengutuk dan melaknat, dan ada juga yang menuntut kepada Muhammadiyah untuk bersikap terhadap Buya. Beberapa diantaranya perlu disebutkan di sini untuk melihat seperti apa ekspresi orang terhadap tokoh sekaliber Buya yang memberikan nasehat tentang sejarah Indonesia. Mulai dari sebutan “orang tua gila”, “pembela penista”, “si tua”, “sudah bau tanah”, “kecebong”, “koplaxx”, “antek”, “tai kucing”, “semakin tua semakin sesat”, “si pikun utek liberal”, “kerak neraka”, “cari makan”, “dasar orang tua… tobat orang tua”, “semakin tua semakin kehilangan akal”, “agen PKI kedok ulama”, “intelek kok guoblok”, “ulama syu’”, “berbicaranya lantang, tapi telinganya tuli, pandanganya buta”, dan juga sebutan yang sudah sering dialamatkan kepadanya, yakni “liberal”.

Sementara mereka yang menuntut agar Muhammadiyah menghukum Buya menyebutkan bahwa Buya adalah “tokoh Muhammadiyah paling mengecewakan”, “mamalukan Muhammadiyah”, dan orang yang tidak bisa menjaga diri, terutama terkait dengan “mulutnya tidak beradab”. Permintaan kepada pimpinan Muhammadiyah juga berupa peninjauan “keberadaan Syafii Maarif di lingkaran para tokoh muhammadiyah” dengan alawan bahwa opininya “lebih sering menyesatkan umat”. Tuntutan pribadi yang agak ringan adalah meminta agar Buya bertobat, atau meminta orang lain agar tak lagi memanggilnya buya karena tak pantas lagi dengan sebutan itu, atau meminta Buya sekolah lagi biar pintar. Ada juga yang berdoa agar Buya mendapat hidayah dan dijauhkan dari virus pluralisme atau berdoa agar Buya husnul khatimah.

Tentu saja ada yang mencoba mendudukkan persoalan dengan melihat dan membaca secara seksama kalimat-kalimat yang disampaikan Buya itu dan meminta jangan saling kecam serta menjaga tatakrama terhadap orang tua. Dukungan, pembelaan, pujian dan doa agar Buya diberi kesehatan dan panjang umur juga bisa ditemukan dalam berbagai komentar.

Berkaitan dengan fanpage itu sendiri, ada sejumlah follower (sekitar 30 orang) yang lantas keluar atau memblokir fanpage tersebut. Ada yang mengancam admin agar tidak bertindak macam-macam. Ada yang menuduhnya liberal, bagian dari JIMM, corong Buya atau “antek syafii”, dan bahkan ada menganggap fanpage itu sebagai infiltrasi dari NU (Nahdlatul Ulama) untuk memecah Muhammadiyah. Namun tampaknya jumlah yang keluar dan memblokir itu sebetulnya jauh lebih kecil daripada jumlah yang menjadi follower baru. Ini bisa dilihat dari jumlah follower yang mengalami kenaikan cukup banyak dibandingkan dengan sebelum adanya posting itu. Mengambil sikap atau keberpihakan dalam kasus-kasus yang membelah masyarakat itu memang bisa menaikkan jumlah followers atau likers. Ini yang membuat sebagian aktivis sosial media menikmati sikapnya yang sektarian.

Kasus seperti ini sudah kesekian kali terjadi. Sebelumnya kontroversi yang heboh terjadi ketika memasang foto Joko Widodo mengimami sholat warga Muhammadiyah. Kemudian, kontroversi kembali ramai ketika posting “Muhammadiyah garis lucu” keluar. Bagi Buya sendiri, ini tentu bukan pertama kalinya mendapat bully sedemikian rupa. Ketika Buya menulis beberapa artikel terkait Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), ia juga mendapat bully dari banyak orang, Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah.

Apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini? Pertama, mereka yang berkomentar jahat terhadap Buya itu kemungkinan besar tidak membaca secara utuh tiga tulisan pendeknya tentang PKI di Republika yang berjudul “Isu kebangkitan PKI jadi ritual tahunan” (26/9), “PKI dan kuburan sejarah (1)” (11/7), dan “PKI dan kuburan sejarah (2)” (18/7). Jika mereka membaca dan mencoba memahami, maka akan didapati kesimpulan yang sama sekali berbalik dari tuduhan bahwa Buya sedang membela PKI. Di beberapa bagian dari artikel itu Buya dengan jelas menunjukkan kekejaman PKI dan watak komunisme yang anti-demokrasi dan antikemanusiaan. Buya menegaskan bahwa “rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan”.

Kedua, mereka yang mem-bully Buya itu hanya melihat kalimat atau kutipan yang dipakai sebagai meme. Kalimat yang merupakan pesan akhir Buya di artikel “PKI dan kuburan sejarah (2)” itu sebetulnya juga memberi keterangan tentang penggunaan isu PKI untuk “tujuan politik kekuasaan”. Sayangnya, kata-kata itu juga tidak diperhatikan. Seandainya yang dikutip dan dibuat meme adalah kalimat “komunisme itu anti-demokrasi dan antikemanusiaan” dan “rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan”, maka bisa saja ini dipakai sebagi dukungan bagi kelompok yang saat ini mengungkit-ungkit isu PKI untuk tujuan politik. Namun mereka yang sudah benci dan antipati terhadap Buya bisa jadi tak mau melihat itu juga. Mereka sudah benti dan memandang negatif terhadap Buya, apapun yang ia katakan. Ini terlihat dari komentar yang selalu mengaitkan Buya dengan sikapnya terhadap isu Ahok beberapa waktu lalu.

Ketiga, seperti ditulis Merlyna Lim (2017), apa yang dialami Buya adalah contoh dari post-truth politics, dimana kebenaran itu bukan sesuatu yang pertama dan utama. Meski PKI itu sudah tidak ada, namun ketika ia dijual lagi dengan kemasan baru untuk menakut-nakuti rakyat dan dipromosikan sedemikian rupa, maka ia akan terjual juga. Branding baru tentang bahaya PKI dibuat dan di-viralkan. Orang jujur seperti Buya yang dengan baik-baik memberi nasehat lantas di-bully. Sosial media yang pada awalnya disanjung sebagai arena freedom of expression ternyata memiliki efek negatif seperti menurunnya kualitas informasi dan naiknya kebencian terhadap mereka yang berbeda. Upaya tabayyun (merefleksikan dan konfirmasi) terhadap perbedaan dan pertentangan juga sering hilang karena di dunia orang lebih sering bergerombol dengan yang seide (algorithmic enclaves) dan mematikan atau memutus hubungan dengan mereka yang berbeda pandangan.
-oo0oo-


Sumber: *Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah; Peneliti LIPI

Share:

Muhammadiyah dan PKI di Kotagede


Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi persyarikatan Islam yang ada di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan nama kecilnya Muhammad Darwis pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, tepatnya di Kampung Kauman. Organisasi Muhammadiyah ini bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi.

Kauman adalah kampung yang mempunyai rangkaian dengan Keraton Yogyakarta. Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang keagamaan, khususnya urusan kemasjidan, di sebuah lokasi khusus. Tanah tempat tinggal tersebut merupakan hadiah pengabdian mereka kepada Keraton.

Beberapa keluarga abdi dalem itu kemudian membentuk masyarakat, yang disebut dengan masyarakat Kauman. Lokasi tinggal dari masyarakat Kauman disebut dengan nama kampung Kauman.

Pada perkembangannya, masyarakat Kauman memiliki ikatan kekeluargaan yang pekat. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ikatan yang kuat antara abdi dalem pamethakan yang mendorong terjadinya perkawinan endogami.

Kampung Kauman terletak tepat di barat alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Dengan luas wilayah 192.000 meter persegi, sebelah utara dibatasi Jl. KH Ahmad Dahlan, sebelah barat Jl. Nyai Ahmad Dahlan (dahulu Jl. Gerjen), dan sebelah selatan Jl. Kauman.

Lingkungan perumahan di kampung Kauman sangat padat dengan gang-gang kecil di dalamnya, sehingga keramahan penduduk dan suasana kampung religius Muhammadiyah ini akan sangat terasa.

Pada 1912, Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman ini, pada mulanya tidak diterima oleh masyarakat Kauman. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya kampung ini menjadi kampung yang sangat fanatik dengan Muhammadiyah.

Banyak pimpinan Muhammadiyah yang muncul dari Kampung Kauman ini. Oleh karenanya, perkembangan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari Kampung Kauman. Kauman menjadi saksi tumbuh, berkembang dan majunya Muhammadiyah yang kini sudah menginjak usia 1 abad.

Heritage Muhammadiyah yang ada di kampung ini antara lain:
  1. Masjid Besar Kraton Yogyakarta
  2. Langgar Kidoel Kiai Dahlan (terletak di komplek rumah keluarga)
  3. Sekolah Pawiyatan (sekarang menjadi SD Muhammadiyah Kauman)
  4. Makam Nyi Ahmad Dahlan (sebelah barat Masjid Besar Kauman)
  5. Ndalem Pengulon (rumah penghulu)
  6. Gedung Pesantren (TK ABA Kauman yang merupakan TK ABA pertama)
  7. Mushala ‘Aisyiyah (masih menjadi mushala khusus wanita di kampung Kauman)
  8. Rumah keluarga pimpinan-pimpinan Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH. Hadjid, KH. Fakhruddin, KH. Yunus Anis dan Ki Bagus Hadikusuma
  9. Amal usaha Muhammadiyah: PKU Muhammadiyah, Toko Buku dan Kantor redaksi Majalah Suara Muhammadiyah

Pada tahun 1920, PKI masuk ke wilayah Kotagede Yogyakarta. Secara umum PKI telah mendapatkan dukungan dari banyak pihak termasuk di daerah Kotagede dan sekitarnya, yaitu Umbulharjo. Pusat PKI di Kotagede terletak di Prenggan dan Basen.

Pada tahun 1950 hingga 1960-an, Kotagede terkenal sebagai salah satu basis komunis di Kotapraja, Yogyakarta. Hal tersebut dibuktikan dengan PKI sebagai partai ke-2 yang mendapat banyak dukungan dari masyarakat pada saat pemilihan. Perekonomian masyarakat Kotagede yang rendah pada saat itu adalah salah satu alasan masyarakat menerima dan mendukung adanya PKI di kalangan mereka.

Sikap dari Muhammadiyah sendiri di kalangan masyarakat lebih mengandalkan kelompok ekonomi yang mapan untuk mengembangkan organisasi berdasarkan saling percaya di antara anggota dengan jalinan hubungan bisnis, kerabat dan perkawinan.

Hal itulah yang menyebabkan semakin terbukanya peluang bagi PKI untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan orang miskin, dan PKI juga dianggap sebagai organisasi yang toleran dan akomodatif baik terhadap Islam, maupun tradisi setempat.
Hubungan antara Muhammadiyah dan PKI yang sudah terjalin sejak tahun 1920-an ini memiliki pertentangan sehingga terjadilah sebuah konflik di antara keduanya.


Ditulis oleh:
Aisyah Rachmasari, Gibral Muhammad Albab, Zukhrufa Ken S.D., Syahda Nur Sahbani, Marchiana Wara A., Rani Septia Ningrum,  Nur Rahman Eka Wardani, Nila Ratna Kusuma Wardani.

Sumber: muhammadiyahstudies
Share:

Muhammadiyah dan NU: Penjaga Moderatisme Islam di Indonesia


Zakiya Darajat

Abstract

Islam has been expressed through its adherents in many ways. Sometimes the expression has been judged as hard and even arrogant. This is not the case with Islam in Indonesia which has been shown more friendly expression of Islam. However, the radical movements have challenged this peaceful image of Islam in Indonesian. The research which mainly utilized the library sources has concludes that Islam in Indonesia is still considered to be a moderate Islam and in this case, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama are two organizations which can be seen as the guardians of Islamic moderatism in Indonesia. 

Keywords


Moderatisme; Islam Indonesia; Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama

Full Text:

PDF

References

A. Syafi’i Ma’arif, Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Teologis, dalam ‎Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban, Yogyakarta: UII ‎Press, 2000.‎
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan Bandung: ‎Remaja Rosdakarya, 1999.‎
‎----------, Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Teologis-Historis, dalam Rekonstruksi ‎Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban, Yogyakarta; UII Press, 2000.‎
‎----------, Radikalisme NU dan Liberalisme Pemikiran NU dalam Konflik Baru Antar ‎Peradaban; Globalisasi, Radikalisasi dan Pluralitas, Jakarta: RajaGrafindo Persada, ‎‎2002. ‎
Abdul Rouf, NU dan Civil Islam di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2010,‎
Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, Jakarta: PBNU, 2013.‎
Airlangga Pribadi dan M. Yudhi R. Haryono, Post Islam Liberal, Jakarta: Gugus Press, 2002.‎
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.‎
Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta; LkiS, 2003.‎
Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia; the Faltering Revival?”, Institute of Southeast ‎Asian Studies (2004), http://www.jstor.org/stable/27913255.‎
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo; Jazeera, 2004.‎
James Turner Johnson, The Holy War Idea in Western and Islamic Tradition (terj), Yogyakarta: ‎Qalam, 1997.‎
John. L. Esposito, Islam and Politics, New York: Syracuse University, 1998.‎
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta; Bulan ‎Bintang, 1984. ‎
Madjid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam, New Jersey; The John Hopkins ‎University Press, 2006.‎
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi, Islam Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2003.‎
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi Relasi –Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, ‎Yogyakarta; LkiS, 2009.‎
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006, Yogyakarta: ‎Pustaka Pelajar, 2010.‎

Sumber: muhammadiyahstudies
Share:

Jenderal Soedirman SANG SERILYAWAN



SANG SERILYAWAN

Oleh: DEVI  ELOK

Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman adalah  salasatu tokoh Pahlawan  Nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, ia tercatat sebagai Panglima dan Jenderal Republik  Indonesia  pertama dan termuda. Jenderal Soedirman lahir di Bondas Karangjati, Rembang Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ketika usianya 31 tahun ia sudah menjadi seorang Jenderal, meskipun pada saat itu ia sedang menderita sakit paru-paru. Jenderal Soedirman hidup dan besar dalam lingkungan yang sederhana. Ayah Jenderal Soedirman bernama Karsid Kartowirodji yang bekerja di pabrik gula milik Pemerintahan Hindia Belanda di Kalibogor, Banyumas, dan ibunya memiliki nama Siyem merupakan keturunan asli Rembang. Sejak umur delapan bulan, ia diangkat menjadi anak oleh R. Tjokrosoenaryo seorang asisten Wedana atau camat di Bodaskarangjati. Istri dari R. Tjokrosoenaryo masih ada hubungan saudara dengan ibu kandung Jenderal Soedirman. Pengangkatan anak ini memang sudah lama dirundingkan bersama Karsid dan Siyem. Keduanya mengikhlaskan anaknya diangkat oleh keluarga saudaranya itu (Farhan MH, 2010: 10). Soedirman diangkat anak oleh R. Tjokrosoenaryo, sehingga namanya menjadi Raden Soedirman. Ketika Soedirman kecil ia tidak lama tinggal di Rembang, karena ayah angkatnya R. Tjokrosoenaryo  memutuskan untuk pension dini dari jabatan camat dan merencanakan untuk pindah ke Cilacap. Di Cilacap R. Tjokrosoenaryo akan diangkat menjadi penasihat Pengadilan Negeri Cilacap.     
                 
Sejak masa anak-anak penampilan dan kepribadian Soedirman tidak lepas dari lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan. Dalam diri Soedirman terjadi akumulasi dua subkultur, yaitu wong cilik dan priyayi. Soedirman keturunan wong cilik yang diangkat anak oleh priyayi yang menyebabkan perpaduan subkultur tersebut. Ayah Raden Soedirman telah meninggal dunia, ketika ia berusia enam tahun. Hal ini menjadikan Raden Soedirman menjadi anak yang sederhana di bawah bimbingan Ibunya. Meskipun Soedirman diangkat anak oleh Tjokrosoenaryo, ia biasa melakukan pekerjaan wong cilik seperti mencuci piring, mengisi bak mandi dan pekerjaan fisik lainnya. Sedangkan ibu angkatnya, telah mengajarkan Soedirman berbagai budaya adiluhung, seperti adat istiadat, sopan santun, dan menghargai akhlak yang luhur. Ayah angkatnya juga ikut berperan dalam pembentukan diri Soedirman,melalui kisah kisah ksatria dan kebengawanan dalam dunia pewayangan telah menumbuhkan sikap ksatria yang disiplin, pemberani, tegar menghadapi persoalan dan mulai tumbuh juga jiwa pengabdian.                  

Kemudian pada usia tujuh tahun, Raden Soedirman sekolah di HIS ( llandsch Inlandsche School) Gubernemen atau HIS Pemerintah. Soedirman bukan murid yang menonjol dan bukan murid terpandai serta bukan juga murid yang terbodoh. Sejak kelas I sampai kelas V Raden Soedirman bersekolah  dengan lancar, tetapi pada kenaikan kelas VI ia merasa kurang mantap bersekolah di HIS Gubermen. Soedirman ingin pindah ke sekolah lain , keinginan tersebut disampaikan kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi, orang tuanya menyarankan agar soedirman tetap bersekolah disana, dan akhirnya Soedirman mengikuti nasihat orang tuanya. Tahun berikutnya  ketika Soedirman kelas VII ia pindah ke Taman Siswa. Taman Siswa merupakan sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi yang didirikan oleh kakak beradik Suwandi dan Suwondo, namun belum genap satu tahun Raden Soedirman belajar disana sekolah Taman Siswa terpaksa ditutup karena kekurangan dana (Farhan MH, 2010:10)Raden Soedirman memiliki niat untuk kembali ke HIS Gubernemen tetapi tidak dapat diterima kembali. Jenderal Soedirman melanjutkan pendidikannya di MULO Wiworotomo Cilacap. Perpindahan Soedirman ke Wiworotomo tidak lepas dari saran gurunya bernama R. Sumingrat Danudiprojo. Menurut pendirinya yaitu R. Sumoyo Yo Kusumo Sekolah Wiworotomo bertujuan untuk menampung anak-anak bumiputra yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan sekolahnya di Gubernemen (Sardiman, 2008: 31). Tetapi disisi lainsekolah Wiworotomo memupuk nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan. Di sekolah Wiworotomo, Soedirman memang cepat berkembang dan lebih menonjol, cara berpikirnya juga lebih matang dan dewasa dibandingkan dengan teman teman lainnya. Dalam penguasaan materi Raden Soedirman lemah dalam menulis Jawa, tetapi ia terampil mata pelajaran Aljabar, Ilmu Bumi, Sejarah, Tata Negara, Bahasa Belandan dan pandai mengarang dalam Bahasa Indonesia. Hal ini menjadikan Raden Soedirman menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya ketika ada kesulitan dalam memecahkan persoalan, karena ketika Raden Soedirman menjelaskan materi kepada teman-temannya lebih mudah dipahami penjelasannya dari pada penjelasan beberapa guru.  Sehingga, Raden Soedirman dikenal sebagai pembantu guru atau guru kecil.

Selain itu ketika menjadi siswa MULO Wiworotomo, sikap tanggung jawab dan menyenangi berbagai kegiatan organisasi sudah terlihat dalam dirinya meskipun masih remaja. Saat itu, Soedirman aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo dan di dalam dunia kepanduan. Pada awalnya Soedirman mengikuti kepanduan Bangsa Indonesia yang ada di Cilacap, namun ia beralih ke organisasi kepanduan milik gerakan Muhammadiyah yang terkenal dengan nama Hizboel Wathan (HW(Farhan MH, 2010: 11). Mengenai munculnya kepanduan Hizboel Wathan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kepanduan pada umumnya di Indonesia. Gerakan kepanduan di Indonesia muncul pada masa kolonial Belanda. Saat itu di Belanda berkembang organisasi kepanduan Nederlandsch Padvinders Organisatie (NPO), organisasi kepanduan ini berpengaruh terhadap organisasi kepanduan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Wawasan dan pengetahuan islam, kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, kemandirian dan kesetiakawanan membuat Raden Soedirman menjadi anggota HW yang menonjol dan disegani kawan kawannya. Ketika ada pemilihan pimpinan HW Banyumas, Raden Soedirman terpilih menjadi ketua atau disebut Menteri Daerah HW. Disisi lain, Raden Soedirman juga aktif di Pergerakan Muhammadiyah.  Setelah lulus dari MULO ia melanjutkan pendidikannya ke HIK Muhammadiyah Surakarta tetapi tidak sampai satu tahun di sekolah tersebut, Raden Soedirman dijadikan guru professional yang aktif mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Karena Soedirman lulusan dari MULO ia tidak berkompeten untuk menjadi guru, tetapi Soedirman ingin mendidik generasi anak bangsa agar mereka memiliki derajat yang sama dengan bangsa bangsa lain termasuk dengan Belanda. Hal itu sudah terlihat ketika Soedirman sekolah di Wiworotomo ketika teman temannya memberinya sebutan guru kecil. Raden Soedirman sangat disenangi oleh murid muridnya karena  kemampuan dalam menyampaikan materi dan juga pengetahuannya yang luas terutama dalam ilmu pengetahuan sosial, Bahasa Belanda dan pengetahuan Agama.                                    
                                          
 Selama Soedirman di lembaga pendidikan ada tiga guru yang mempengaruhi dalam pembentukan karakternya yaitu Raden Sumoyo yang memiliki pandangan nasionalis sekuler, Raden Moharnad Kholil memiliki pandangan nasionalis islamismedan Tritosupono merupakan lulusan dari akademi militer Breda di Belanda. Pendidikan militer Raden Soedirman berawal ketika ia mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta di Bogor). Setelah selesai di pendidikan militer, ia diangkat menjadi komandan Batalyon di Kroya. Saat itu Jenderal Soedirman sering memprotes tindakan tentara Jepang yang sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Dalam pertempuran dengan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas, itulah jasa pertama kali Jenderal Soedirman sebagai tentara setelah kemerdekaan(Sardiman, 2008:54). Tidak lama dari terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jenderal Soedirman diangkat menjadi Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat sebagai kolonel. Ketika konferensi TKR tanggal 2 November 1945 ia terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Ketika Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta, Belanda kembali melakukan agresinya yang ke dua setelah sebelumnya menguasai Jakarta. Saat itu, Jenderal Soedirman sedang sakit keadaannya lemah karena paru parunya hanya berfungsi satu.  Saat kondisi kesehatannya mengkhawatirkan seperti itu, banyak pihak yang menyarankan agar ia berhenti untuk bergerilya, tetapi semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun. Belanda pada waktu itu telah menguasai kota Yogyakarta dan Presiden soekarno, wakil presiden serta beberapa anggota kabinet telah menjadi tawanan belanda. Sultan Hamengku Buwono IX menggagas untuk melakukan serangan umum. Rekaman wawancara Sri Sultan dengan radio BBC London tahun 1986 telah ada transkripnya yang sekarang ada di Arsip Nasional (Taufik Adi Susilo, 2010:86). Saat itu Sri Sultan mengatakan bahwa kondisi di luar maupun di dalam negeri sangat mengkhawatirkan setelah Agresi Belanda II yang berhasil menguasai kota Yogyakarta. Di dalam negeri semangat penduduk Indonesia melemah dan di luar negeri melalui Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), Belanda telah mengumumkan bahwa Indonesia telah habis. Saat itu Sri Sultan yang menjabat sebagai menteri keamanan mendengarkan perkembangan politik melalui radio (Taufik Adi Susilo, 2010:86). Setelah mendapat informasiSri Sultan mengirim surat kepada Jenderal Soedirman untuk meminta izin melakukan penyerangan di pagi hari. Jenderal Soedirman menyetujui permintaan dari sultan dan meminta sultan untuk menghubungi Soeharto yang ketika itu menjadi komandan Wehrkreise III Yogyakarta.  Lettu Marsoedi, komandan Sub Wehrkeise 101 di bawah komando Soeharto ditunjuk oleh sultan untuk menyampaikan surat kepada Soeharto. Malam itu juga Soeharto dan juga Marsoedi tiba di Ndalem Prabeyo. Soeharto di suruh untuk berganti pakaian karena akan menghadap sultan. Setelah berganti pakaian Marsoedi membawa Soeharto bertemu dengan KGPH Prabuningrat, kemudian Soeharto diantar ke Ndalem Prabuningrat untuk menghadap Sultan Hamengku Buwono IX. Selesai bertemu dengan sultan, Soeharto tidak menceritakan isi pembicaraan itu kepada Marsoedi. Selang dua hari dari pertemuan itu , ngarso ndalem meminta Soeharto untuk menyiapkan serangan pada 1 Maret 1949. 

 Sementara di Yogyakarta sedang merencanakan serangan kepada Belanda, saat itu Jenderal Soedirman sedang berada di Pacitan.  Sejak 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949 Jenderal Soedirman berada di Pacitan dan menggunakan rumah milik Karsoesoemito seorang bayan dukuh Sobo untuk markasnya (Farhan MH, 2010:39). Meskipun Jenderal Soedirman berada di Pacitan, ia tetap melakukan komunikasi dengan panglima dan komandan diberbagai daerah melalui caraka (kurir)Markas besar Sobo memiliki sender di Balong di lereng gunung Lawu yang dapat berhubungan dengan pesawat pemancar di Bukit tinggi untuk tetap berhubungan dengan PDRI di Sumatera, pak Simatupang di Dungkorong, pemancar AURI di Playen yang merupakan tempat markas pak Nasution, pemancar pak Sungkono di Banjulan dan pemancar pemancar lainnya di Jawa Barat(Farhan MH, 2010:40). Selain itu, Jenderal Soedirman juga dapat berkomunikasi dengan luar negeri seperti di Delhi lewat Ranggon. Dari markasnya yang ada di Sobo, panglima Soedirman juga memantau perkembangan politik yang terjadi di tanah air, seperti memantau tentang serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Dalam rangkaian serangan itu menurut Harsono Cokroaminoto, Jenderal Soedirman mengirim tiga orang utusan khusus yaitu kapten Cokropranolo, Dr. Suwondo dan Cokroaminoto sendiri untuk pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Tujuannya untuk mengetahui situasi sekaligus ikut mempersiapkan pasukan gerilya yang ada di kota agar bisa membuat rencana penyerangan tersebut (Sardiman, 2008:67). Saat memasuki kota Yogyakarta, tiga orang utusan jenderal Soedirman tadi berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Jenderal soedirman juga sudah memberikan tugas sendiri-sendiri untuk utusannya tadi, Cokropranolo diberi tugas untuk langsung menemui Sri Sultan Hamengku Buwono, Dr. Suwondo ditugasi untuk mencari obat obatan  untuk Soedirman dan juga pasukannya. Sedangkan Harsono Cokroaminoto ditugasi untuk mempersiapkan lascar-laskar , terutama yang dulu bergabung dalam lascar pemuda pemuda islam.  Akhirnya, pada 1 Maret 1949 meletuslah serangan umum yang dikomandani oleh Soeharto.

Sumber: sanskertaonline
Share:

Recent Posts

Unordered List

BENNER 728X90